Ayat-ayat Cinta 2 - Bagian 230

Sesaat yang terdengar hanya suara isak Sabina. Paman Hulusi, Fahri dan Misbah diam menunggu jawaban Sabina. Suara isak tangis Sabina itu membuat Fahri berpikir, apakah semua perempuan memiliki isak tangis yang sama? Ia tidak tahu tangis Sabina itu karena sedih atau karena bahagia. Namun mendengar isak tangis perempuan Fahri selalu iba dan luluh. Itu mungkin salah satu kelemahan terbesar dalam hidupnya.

Dulu saat di Mesir, ia pernah menolong Noura karena tidak tega pada isak tangisnya di tengah malam. Dan itu menjadi awal drama mencekam dalam sejarah perjalanan hidupnya. Isak tangis Aisha-lah yang membuatnya luluh akhirnya mau menikahi Maria.. Dan isak tangis Aisha jugalah yang mengisi banyak lembaran kenangan tak terlupa dalam hidupnya.

Apakah semua perempuan memiliki isak tangis yang sama? Suara isak tangis Sabina yang serak itupun ia rasa ada miripnya dengan suara isak tangis Aisha. Atau malah mirip suara isak tangis Maria?

Sabina tampak berusaha menguasai dirinya. Ia mencoba memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya. Dan yang pertama ia tatap justru wajah Fahri, bukan Paman Hulusi. Sabina menyeka air matanya.

"Sebelum saya jawab, perkenankan saya bertanya kepada Hoca Fahri." Serak Sabina.

Fahri menegok melihat Paman Hulusi yang pada saat yang sama menoleh melihat Fahri.

"Silakan." Fahri menghela nafas.

"Apakah Hoca Fahri ikhlas Paman Hulusi menikahi saya?"

"Maksudnya?"

"Apakah Hoca Fahri tidak bisa mencarikan perempuan lain yang lebih baik dari saya untuk Paman Hulusi?"

"Adalah hak Paman Hulusi sepenuhnya untuk memilih calon istrinya. Jika dia memilih kamu maka itu pasti sudah dia pertimbangkan dengan masak-masak. Dan pasti kau telah dianggap yang terbaik untuknya karena itu kau dipilih."

"Saya merasa, saya tidak pantas untuk Paman Hulusi. Apakah Hoca Fahri melihat saya pantas untuknya?"

"Selama iman dan akidahnya sama, saya rasa pantas-pantas saja." Jawab Fahri dengan suara pelan.

"Kalau begitu celakalah saya!" Suara Sabina sedikit keras lalu terisak.

"Celaka bagaimana, Sabina? Apa maksudnya?" Tanya Paman Hulusi penasaran.

"Sungguh celaka diriku ini. Diriku yang gelandangan ini, yang hina ini. Hendak diangkat derajatnya namun diriku tak bisa melakukannya. Maafkan diriku yang hina Paman, aku tidak bisa menerimanya. Aku telah terikat pada sumpahku, bahwa aku tidak akan menikah lagi. Cukuplah menikah sekali saja dalam hidupku."

"Dalam bahasa lebih jelasnya, kau menolak lamaranku? Kau menolak menikah denganku, begitu?!" Tanya Paman Hulusi dengan nada agak keras. Lelaki setengah baya itu mukanya memerah, ia tampak tersinggung.

(Bersambung)

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : Ayat-ayat Cinta 2 - Bagian 230

1 komentar: