Sebelum kita diskusi panjang lebar tentang philology. Satu hal yang harus kalian
catat, hal pertama yang harus dimiliki seorang philologist adalah amanah. Saya diminta oleh Professor Charlotte
untuk mengeluarkan dari kelas ini siapa saja yang belum membaca dua buku itu.
Tanpa pandang bulu. Maka saya harus amanah. Tadi Juu Suh sudah saya keluarkan
dari kelas ini. Dan selanjutnya, adalah kewenangan saya untuk memberinya
kesempatan masuk kembali ke dalam kelas. Amanah Profesor Charlotte sudah saya
laksanakan. Dan prinsip saya untuk tidak menolak siapa saja yang mau belajar
bersama saya, juga saya lakukan."
"Ah oke, ini bukan sekolah dasar lagi," sela
mahasiswa dari India itu sambil berdiri dan bertepuk tangan diikuti yang lain.
"Sudah, sudah silakan duduk! Says berharap, apa pun
yang diminta Profesor kalian yang berkaitan dengan pematangan keilmuan kalian,
penuhilah dengan baik. Apalagi jika kalian nanti sudah menulis tesis. Kata-kata
supervisor, kalian ibarat titah raja
yang harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh dan dituruti, jika kalian ingin
hasil terbaik."
Fahri kemudian membimbing para mahasiswa itu untuk
memasuki diskusi serius tentang philology. Penguasaan Fahri akan materi dan
manajemen kelas, membuat diskusi yang seharusnya berat itu terasa hangat dan
ringan. Tidak terasa, telah satu jam Fahri berdiskusi. Fahri melihat jam
tangannya. Sudah jam satu lebih dua puluh menit. Zhuhur di Edinburgh telah
masuk enam menit yang lalu.
"Maaf, bagi saya ini sudah tiba waktunya untuk
ibadah. Apakah kalian terganggu jika saya shalat di sini? Jika kalian
terganggu, saya akan shalat di office
saya, lalu balik ke sini. Atau kalian merasa cukup maka akan saya sudahi kelas
ini."
"Perlu berapa lama Anda ibadah?" tanya
mahasiswi dari Cina.
"Kira-kira lima menit." "Kalau begitu Anda
ibadah di sini saja, kami tidak masalah."
"Baik. Saya shalat dulu. Di antara kalian, ada yang
Muslim selain saya, boleh ikut." Fahri melirik mahasiswa berambut keriting
berwajah Arab. Tetapi dia biaasa-biasa saja dan tidak bergerak dari tempat
duduknya. Fahri memaklumi mungkin meskipun berwajah Arab tapi dia bukan Muslim,
atau dia Muslim tapi mau shalat nanti selesai kuliah.
Fahri kemudian shalat di pojok ruangan itu menghadap
kiblat. Sebagian mahasiswa terutama dua orang mahasiswa bule dan mahasiswi
bermata sipit itu memerhatikan gerakan Fahri dengan saksama. Selesai shalat,
Fahri kembali memimpin diskusi. Fahri membuat seluruh mahasiswa menyampaikan
pendapatnya. Fungsi utamanya sebagai pakar pengganti Profesor Charlotte ia jalankan
dengan baik. Simpul-simpul yang rumit tentang ilmu philology ia uraikan dengan bahasa sederhana yang tuntas. Diskusi
itu telah melewati batas waktu yang semestinya, para mahasiswa seakan tidak mau
bergeser dari tempat duduknya dan ingin lebih lama lagi menyerap ilmu dari
pakar philology jebolan Universitas
Al Azhar Mesir dan Uni-Freiburg Jerman itu.
(Bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar