"Tiba-tiba pada tanggal 25 September, Hoca Fahri
kembali mencari Aisha ke Palestina. Sebab tanggal 27 Sepetember adalah
pernikahan mereka. Hasilnya kembali nihil. Iqbal datang bersama seorang syaikh
dari Mesir menemui Fahri. Syaikh itu menyarankan Fahri menikah lagi, atau kalau
tidak pergi sementara waktu meninggalkan Jerman agar bisa menata hidup dan
tidak terus dibayangi kesedihan mengingat Aisha. Hoca Fahri akhirnya setuju.
Suatu hari mengajak saya berangkat ke sini. Hoca Fahri diterima program postdoc
di sini. Meskipun di sini Hoca Fahri menenggelamkan diri dalam riset dan riset,
membaca dan membaca, juga mengurus bisnis. Tapi saya tahu sendiri, saya sering
memergoki dia malam-malam Hoca Fahri menangis. Sepertinya teringat istrinya.
Begitulah ceritanya."
Mendengar apa yang disampaikan Paman Hulusi, tak terasa
kedua mata Heba berkaca-kaca.
"Saya sangat khawatir, kalau seandainya Aisha itu
masih hidup ternyata berada di sebuah penjara di Israel, yang kita tidak tahu
itu di mana. Saya membaca banyak laporan, penjara-penjara di Israel untuk
orang-orang Palestina sangat tidak manusiawi. Termasuk penjara untuk kaum
perempuannya," lirih Heba.
"Ya Allah, mugi-mugi Aisha, Panjenengan paringi
selamet.1" Doa Misbah pelan nyaris tak terdengar dengan kepala
menunduk.
"Apakah dia lebih banyak sedihnya, banyak
menangisnya? Hari ini aku lihat dia sedih sudah dua kali. Tapi pertama kali
berjumpa di The Kitchin tampak segar dia."
"Hoca Fahri sesungguhnya orang yang sangat optimis,
humbel, dan sangat profesional. Dia hanya sedih kalau memang ada yang sesuatu
yang membawanya mengingat Aisha. Dia sangat mencintainya, dan sangat menyesal
kenapa tidak menemaninya pergi ke Palestina."
Heba menganguk-angguk. "Oh ya ini, mari kita
sarapan." Paman Hulusi teringat bungkusan nasi biryani di atas meja.
"Fahri tidak diajak sarapan sekalian, paman?"
gumam Misbah.
"Hoca di kamarnya pasti sedang menenangkan dirinya
dengan shalat dan baca dzikir. Biarkan saja. Kalau dia sudah tenang dia akan
turun."
Suara biola telah berhenti. Paman Hulusi mengambil nasi
biryani dan memasukkan ke dalam piring, juga dua kerat daging domba, lalu
memberikan kepada Heba. Heba menolak. Ia ingin mengambil sendiri. Yang
diambilkan Paman Hulusi menurutnya terlalu banyak. Mereka bertiga lalu
menikmati sarapan. Menjelang mereka selesai makan, Fahri turun dari kamarnya
dengan wajah lebih cerah dan bergabung ikut sarapan.
Tema yang dibincangkan tidak lagi menyangkut tentang
Aisha. Dengan sangat asyik, Heba mengajak bicara tentang perkembangan Islam di
UK, khususnya Edinburgh. Heba begitu optimis bahwa cahaya kebenaran tak bisa
dibendung siapa saja. Namun umat Islam diminta oleh Allah dan Rasul-Nya untuk
sungguh-sungguh menyampaikan cahaya itu, meskipun cuma satu ayat.
(Bersambung)
______________
1 (Jawa) arti: Ya Allah semoga Aisha. Engkau beri
keselamatan.
0 komentar:
Posting Komentar