Brenda menaiki mobil dan duduk di jok kedua.
"Jadi tujuan Anda ke mana?"
"Colinton Road. Kalian ke mana?”
"Kampus The
University of Edinburgh. “
"Saya turun di halte dekat kampus, nanti saya
nyambung dengan bus!”
"Nanti biar Paman Hulusi mengantar Anda sampai
Colinton Road.”
"Terima kasih.”
"Saya lihat Anda tidur di luar rumah, kenapa bisa
begitu?" tanya Fabri.
"Ah, saya terlalu banyak minum semalam. Saya tak
ingat pastinya bagaimana bisa sampai rumah. Saya hanya ingat tadi malam saya
pesta bersama teman-teman di rumah Jane, teman saya, di daerah Corstorphine.
Mungkin ada ternan saya yang mengantar saya ketika saya sedang teler, atau ada
teman yang menaikkan saya ke dalam taksi untuk diantar ke sini. Ini saya kehilangan
cincin. Tidak tahu di mana hilangnya."
Fahri mengangguk-angguk.
"Terima kasih atas tumpangannya."
"Kita bertetangga, harus saling membantu. Jangan
sungkan jika memerlukan bantuan k ami."
"Kalian baik sekali."
"Segala kebaikan kembalinya kepada Tuhan."
Mobil itu terus meluncur ke barat menuju tengah Kota Edinburgh.
Sepanjang jalan Fahri tiada henti berdzikir dalam hati sambil sesekali menjawab
pertanyaan Brenda.
“La haula wala quwwata illah, ... La haula wala quwwata
illah, ...”
Matahari bersinar lebih cerah ketika Fahri turun di
George Square 19, di mana office-nya
berada di kampus utama The University of Edinburgh.
Paman Hulusi langsung mengantar Brenda ke tempat kerjanya. Begitu Fahri duduk
di office-nya, Miss Rachel, staf administrasi
menelepon dan mengabarkan kalau Profesor Charlotte masih dirawat di rumah sakit.
Juga mengabarkan Profesor Ted Stevens ingin bertemu dengannya.
"Prof. Ted Stevens berpesan, jika Doktor Fahri bisa
ke office-nya ditunggu sekarang. Jika
Doktor Fahri sedang sibuk, beliau minta dikabari kapan bisa menjumpai Doktor
Fahri di ruang Doktor Fahri," kata Miss Rachel di telepon.
"Sampaikan ke Prof Stevens, lima belas menit lagi
saya ke ruangan beliau."
"Baik, Doktor. “
Fahri bertanya-tanya dalam hati, ada apa kira-kira pakar
sosio-Iinguistik Arab dan Persia itu sangat ingin berjumpa dengannya.
Kelihatannya sangat mendesak. Prof. Stevens masih muda namun karir akademiknya sangat
cemerlang. Umurnya hanya lima tahun di atas Fahri, namun ia telah meraih gelar
profesor penuh sejak dua tahun yang lalu. Prof. Stevens dikenal memiliki standar
penilaian ilmiah yang tinggi untuk beberapa jurnal ilmiah di mana ia menjadi
redaktumya. Fahri melihat jam tangannya, lalu menggelar sajadahnya untuk shalat
Dhuha. Selesai Dhuha empat rakaat, Fahri meninggalkan ruang kerjanya menuju
ruang Prof. Stevens.
Dua menit melangkah Fahri sampai di depan pintu bertuliskan
"Dr. Ted Stevens, Professor Arab and Persian Studies". Fahri mengetuk
pelan. Terdengar langkah kaki mendekat lalu pintu terbuka. Seorang pria bule
berambut pirang keriting dan berkacamata tersenyum dan menyambut Fahri dengan
kedua ma ta berbinar.
(Bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar