Ponsel Fahri berdenyit. Ia Iihat dilayar, SMS dari Paman
Hulusi.
"Saya sudah di parkiran Buccleuch."
"Paman merapat ke sini, tempat tadi turun. Bawa
kemari koper kosong di bagasi mobil, bantu saya bawa buku-buku."
"Baik.”
Fahri mengambil data di komputernya dalam sebuah flashdisk, lalu menutup komputernya. Ia
rapikan buku-buku di atas meja itu. Ia melihat rak bukunya, beberapa buku ia
ambil. Gerimis di luar semakin kencang.
Pintu diketuk. Fahri membuka. Paman Hulusi berjalan
memasuki ruangan menyeret koper berukuran sedang dengan kaki sedikit pincang.
Tanpa diminta, Paman Hulusi membuka koper. Fahri memasukkan beberapa buku,
beberapa berkas, juga buku dan jurnal yang baru saja ia terima ke dalam koper.
“Paman ada wudhu?"
Paman Hulusi mengangguk.
"Sudah masuk waktu Ashar. Sebelum pulang, kita
shalat berjamaah dulu di sini."
Fahri mengambil dua sajadah yang ia letakkan dalam laci
paling bawah meja kerjanya. Mereka berdua lalu tenggelam dalam kekhusyukan
munajat kepada Allah saat hujan mengguyur Edinburgh, dan lonceng dari St Giles
Cathedral berdentang-dentang.
•••
“Kita Iewat ke utara saja Paman. Lewat North Bridge lalu
belok kanan ke timur Iewat A1 saja. "
"Baik, Hoca.”
Lelaki setengah baya itu memanggil Fahri dengan kata-kata
Hoca. Sebuah panggilan yang digunakan orang Turki untuk guru dan ulama yang
dimuliakan.
Fahri mengiringi laju mobil dengan dzikir.
"La haula wa la quwwata illa billah, ... La haula wa
la quwwata illa billah ... La haula wa la quwwata illa billah .... "
Paman Hulusi memacu mobil SUV putih itu meninggalkan pelataran
George Square menuju rute yang diminta Fahri. Hujan masih turun rintik-rintik.
Dalam perjalanan pulang kali ini, Fahri kembali ingin refreshing menikmati
keindahan Kola Edinburgh. Fahri merasa ia berada di dalam museum hidup yang
seperti tidak pernah membosankan. Yang ia rasakan suasana Edinburgh ini kurang
satu hal, yaitu alunan suara adzan. Jika adzan mengalun di kota ini -seperti di
Kairo yang bersahutan dari pucuk-pucuk bangunan klasik yang runcing itu saat
salju turun atau hujan menyapa seperti ini - maka inilah salah satu hamparan
surga di atas muka bumi ini.
Fahri yang duduk di samping sopir benar-benar menikmati
perjalanan sore itu.
Kota ini memiliki pesonanya sendiri. Kairo juga memiliki
keindahan yang berbeda. Dan kampung kelahirannya di Indonesia juga memiliki
sihir tiada duanya. Ah, dunia memang indah. Begitu memesona. Tiba-tiba ia
seperti diingatkan oleh kesadarannya, wa
lal-akhiratu khairun laka minal ula. Dan akhirat ilu lebih balk bagimu dari
dunia.
(Bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar