Ayat-ayat Cinta 2 - Bagian 107

Keramahan dan senyum Fahri kepadanya terus berkelebat. Sikapnya begitu bersahabat tak ada sorot kebencian kepadanya sedikit pun. Kesadaran terdalamnya tiba-tiba seperti muncul, bahwa pada dasarnya bersahabat itu jauh lebih membahagiakan dari pada terus membenci dan buruk sangka.

13
TANTANGAN DARI OXFORD

Dadanya terasa sesak. Ulu hatinya ngilu. Sakit hati dan keperihan itu menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia duduk di serambi rumahnya dengan pandangan kosong. Air mata meleleh di pipinya. Ia belum pernah merasakan sakit hati seperti itu. Ia adalah pemilih sah rumah itu, tapi ia diancam akan diusir. Ia akan diseret paksa mengosongkan rumah itu. Dan yang sangat menyakitkan yang mengancamnya itu adalah anak tirinya. Anak yang dulu pernah ia sayangsayang.

Apa dosanya sampai ia harus mengalami kepedihan di usia senjanya itu? Apakah masih kurang dia dulu memberikan kasih sayang kepada anak tirinya itu? Kenapa kebaikannya tidak berbekas sama sekali? Ia sudah sangat renta dan sering sakit, tak lama lagi juga mati. Kenapa anak tirinya itu tidak sabar menunggu dia mati dulu? Jika ia mati pastilah rumah itu akan jadi milik anak tirinya itu. Kenapa ia tega mengancamnya? Tega mengusirnya dari rumah yang selama ini jadi tempat tinggalnya. Rumah yang sangat ia cintai. Rumah yang jadi saksi lebih tiga puluh tahun hidupnya.

Nenek Catarina mengusap kedua matanya. Ia tidak kuasa menghentikan air matanya yang terus mengalir. Tiba-tiba ia merasa alangkah bahagianya kalau ia meninggal bersama suaminya. Ia tidak akan mengalami kesepian. Ia tidak akan mengalami keperihan seperti yang saat ini ia rasakan.

Tiba-tiba ia ingin mengakhiri saja hidupnya. Toh, tak lama lagi ia akan mati. Masih mau menunggu apa? Ia tidak punya siapa-siapa lagi yang bisa ia sayangi di dunia ini. Anak tirinya seperti itu perlakuannya padanya. Apa gunanya hidup tanpa cinta lagi, tanpa kasih sayang lagi? Ia sudah renta, namun ia tetap perlu kasih sayang. Mungkin maut lebih sayang kepada dirinya di banding anak tirinya.

Namun kehormatan dirinya berbicara, alangkah memprihatinkan dirinya meninggal dengan penuh kepedihan seperti itu. Alangkah nelangsanya dirinya meninggal dengan cara tidak terhormat sama sekali seperti itu.

Mana keimanannya kepada Elohim yang selama ini ia pegang kukuh? Apakah kebesaran jiwanya kalah oleh kekerdilan perilaku anak tirinya itu?

Air matanya kembali meleleh. Batinnya benar-benar merana. Pandangan kedua matanya kosong tanpa makna. Pagi yang segar seperti gulita yang sumpek dan menguapkan bencana. Ia masih tidak percaya bahwa ia mengalami nestapa itu. Ia diusir oleh anak tirinya dari rumah kesayangannya. Tanpa belas kasihan sedikitpun. Tanpa ada tawar menawar. Pilihannya ia keluar secara sukarela dan mencari panti jompo, atau diusir dengan paksa dan lalu dilempar ke panti jompo.

(Bersambung)

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : Ayat-ayat Cinta 2 - Bagian 107

0 komentar:

Posting Komentar