Ayat-ayat Cinta 2 - Bagian 167

Beberapa turis tampak berhenti dan mengamati panggung itu dan kotak-kotak amal itu. Namun mereka berlalu begitu saja. Seorang turis dari Jepang lewat dan meletakkan uang logam satu pounsterling ke kotak "other religion." Paman Hulusi agak terhenyak, pertunjukan belum dimulai tapi sudah ada yang memberikan sumbangan. Paman Hulusi tidak mau kalah ia memasukkan uang kertas sepuluh pounsterling dan beberapa keping uang logam ke kotak "Islam."

Misbah tampak mencangklong biola dan berdiri di dekat kotak telepon merah. Kawan karib Fahri itu mengamati kondisi panggung dan sekitarnya dengan seksama. Sementara tak jauh dari situ, tepatnya di depan toko souvenir Mrs Stewards Gift Shop, Sabina berdiri dengan melipat kedua tangan di dadanya.

Misbah mendekati Paman Hulusi dan meminta lelaki tua itu memainkan biola.

"Saya tidak bisa. Saya sudah lupa. Dulu waktu muda pernah sedikit-sedikit belajar."

"Yang penting digesek saja Paman. Sebisanya sambil menunggu Fahri datang."

"Kamu saja yang memainkan, Misbah."

"Saya sama sekali tidak pernah memainkan biola. Sama sekali. Paman masih lebih baik, dulu pernah belajar. Ayolah, Paman! Supaya orang-orang tidak berlalu begitu saja."

Setelah dipaksa oleh Misbah akhirnya Paman Hulusi nurut. Misbah menyerahkan biola, Paman Hulusi membuka tas berisi biola dan mengeluarkan isinya. Ketika Paman Hulusi memegang biola itu tangannya gemetar. Kedua matanya berkaca-kaca. Ia mencium biola itu.

"Kenapa Parnan?"

"Seharusnya saya tidak memainkan biola ini. Ini biola kesayangan Aisha Hanem. Ini biola mahal harganya."

"Tapi apakah akan kita biarkan orang-orang berlalu begitu saja? Sudahlah Paman, mainkan saja. Jika Fahri marah biar saya yang dimarabi."

"Hoca tidak akan marah. Saya hanya teringat bahwa ini termasuk barang kesayangan Aisha Hanem. Saya khawatir nanti Hoca Fahri tidak kuat memainkan biola ini."

"Sudah paman, bismillah, mainkan saja!"

"Baiklah!"

Paman Hulusi menyerahkan tas biola pada Misbah, sementara dirinya perlahan melangkah naik ke panggung kecil itu dengan tangan kiri menggenggam biola dan tangan kanan memegang busur penggeseknya. Paman Hulusi naik ke panggung dengan tubuh gemetar. Ia meneoba menggesek biola itu. Bunyi ngak-ngik terdengar. Paman Hulusi kembali menggesek ia mencoba untuk menguasai biola itu dan memainkan nada. Namun yang keluar adalah suara-suara tidak beraturan. Paman Hulusi benar-benar telah lupa bagaimana memainkan jari-jarinya pada keempat senar biola itu. Ia hanya menggesek dan menggesek. Untuk menutupi malunya Paman Hulusi memejamkan kedua matanya.


(Bersambung)

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : Ayat-ayat Cinta 2 - Bagian 167

0 komentar:

Posting Komentar