Ayat-ayat Cinta 2 - Bagian 158

"Iya Paman Eqbal. Posisi di mana sekarang?"

"Kami masih di Manchaster. Syaikh Utsman menanyakan apa hasil istikharahmu?"

"Saya harus istikharah lagi, Paman. Belum bisa memutuskan menerima atau menolak."

"Jangan kau persusah, Fahri. Sudah terima saja. Saya sudah menyampaikan kepada seluruh keluarga besar di Turki dan mereka mendukung jika kau terima tawaran Syaikh Utsman."

"Saya masih bergulat dengan diri saya sendiri Paman. Mohon dimengerti?"

"Baik, semoga Allah menunjukkan yang terbaik. Saya dan Syaikh Utsman menunggu keputusanmu. Beliau berharap sekali kau menerimanya, dan beliau berharap sebelum meninggalkan Inggris Raya ini kau sudah memberikan keputusan."

"Insya Allah, Paman."

Fahri menutup ponselnya setelah menjawab salam Eqbal. Fahri merasa semua orang mendesaknya untuk menerima tawaran Syaikh Utsman itu. Ada bagian dari dirinya yang juga mendorong untuk menerima Yasmin. Tapi entah kenapa ia tidak merasa semantap dulu saat menerima Aisha sebagai calon istrinya. Ia ingin mendapatkan kemantapan yang sama. Fahri menghela nafas, ia kembali menyeruput teh yang ada di hadapannya.

Ponselnya kembali berdencit.

Sebuah pesan masuk. Fahri membuka dan membacanya.

"Seperti janji saya kemarin. Siang ini saya menunggu Anda di St. Giles Cafe, Royal Mile. Kita jumpa 13.30."

Fahri melihat jam dinding.

Sudah pukul 12.50.

"Paman tolong panaskan mobil. Sepuluh menit lagi kita shalat dhuhur berjama'ah di rumah setelah itu kita langsung meluncur ke Royal Mile."

"Baik Hoca."

Paman Hulusi langsung bergegas keluar untuk memanasi mobil, sementara Fahri naik ke kamarnya untuk berkemas. Lima belas menit kemudian keduanya sudah meluncur menuju pusat kota Edinburgh. Paman Hulusi mengendarai mobil itu dengan kecepatan tinggi.

"Di St. Gilles kita mau jumpa siapa Hoca?"

"Orang yang telah membeli rumah nenek Catarina dari Barukh. Namanya Gary."

"Jadi Hoca tetap akan membeli rumah itu?"

"Itu jalan paling cepat mengembalikan nenek Catarina ke rumahnya. Dan juga jalan paling damai dan mudah di tempuh. Kalau menempuh jalan hukum mengembalikan kepemilikan rumah itu kepada nenek Catarina dari Barukh tampaknya susah dan akan banyak mengbabiskan waktu dan biaya. Dokumen wasiat yang dipegang Barukh sangat kuat."

"Kalau nenek Catarina bisa tinggal bersama kita, sebenarnya tidak perlu membeli lagi rumah itu Hoca? Sayang, uangnya."

"Saya sudah janji sama nenek Catarina, Paman. Dan saya tidak mau ada masalah ke depan kalau ada apa-apa dengan nenek Catartna jika dia tetap di tempat kita."

Paman Hulusi mengangguk.

(Bersambung)

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : Ayat-ayat Cinta 2 - Bagian 158

0 komentar:

Posting Komentar